https://ejournal.iainmadura.ac.id/index.php/asshahifah/issue/feedAs-Shahifah : Journal of Constitutional Law and Governance2024-04-24T17:02:16+07:00Try subaktiasshahifah@iainmadura.ac.idOpen Journal Systems<p>Jurnal As-Shahifah <a href="https://issn.lipi.go.id/terbit/detail/20220409331006824">(E-ISSN 2829-6206)</a> (<a href="https://issn.lipi.go.id/terbit/detail/20220331571074911">P-ISSN 2829-4246</a>) menerbitkan artikel konseptual dan berbasis penelitian seputar isu-isu hukum konstitusi dan pemerintahan di dalam maupun di luar negeri. As-Shahifah memberi kesempatan bagi para peneliti, akademisi, professional, praktisi dan mahasiswa di bidang hukum konstitusi dan tata pemerintahan, untuk berkontribusi dan berbagi pengatahuan yang terkemas dalam sebuah naskah artikel ilmiah. Pengguna diperkenalkan untuk mencari artikel, membaca, mengunduh, menyalin dan mendistribusikan atau mennggunakannya untuk tujuan sah lainnya.</p>https://ejournal.iainmadura.ac.id/index.php/asshahifah/article/view/10149Implementasi Penyelesaian Sengketa Industrial Dalam Perspektif Bipartit Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial2024-04-24T17:02:16+07:00Satrya Yudha Prabawa satrya.yudha.prabawa@gmail.comSulaimandzuliman3@gmail.com<p><strong>Abstract</strong></p> <p>In the process of resolving industrial relations disputes, there are two steps that can be taken,namely through litigation and non-litigation (court or out of court), based on Law Number 2 of 2004 concerning industrial relations dispute settlement. It is part of the steps for resolving industrial disputes outside the court (non-litigation) through bipartite negotiations. The bipartite negotiation pathway is an obligation for workers (laborers) and employers to be able to do it when there are disputes or differences of opinion that have the potential to cause impacts and conflicts in industrial relations. Based on the provisions contained in Article 2 of Law Number 2 of 2004, it describes the types of industrial relations disputes including; first; rights dispute, second; conflict of interest, third; layoff disputes, and fourth; disputes between trade unions/labor unions in a particular company. Thus the implementation of the settlement through non-litigation steps with bipartite efforts can be carried out within the period determined by law, namely, no later than 30 (thirty) working days from the start of the bipartite negotiations, then based on Article 6 paragraph 2 of the Law number 2 of 2004 states that every negotiation that takes place must be recorded or the results of bipartite negotiations must be recorded. The approach used in this study uses normative and empirical legal approaches, based on this method researchers can clearly know and study doctrinal laws and the implementation of laws applied in society. thus researchers in providing views or ideas in solving legal problems that occur in society.</p>2023-12-19T00:00:00+07:00Copyright (c) 2023 As-Shahifah : Journal of Constitutional Law and Governancehttps://ejournal.iainmadura.ac.id/index.php/asshahifah/article/view/10470Analisis Teori Keadilan John Rawls terhadap Urgensi Pembentukan Lembaga Eksekutorial Khusus dalam Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara 2024-01-08T12:42:34+07:00Hengkiyerichohengky24@gmail.comAbd Muniabdmuni@iainmadura.ac.id<p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Konflik bersejata antara Palestina dan Israel terus berlangsung, korban jiwa yang ditimbulkan akibat konflik ini pun tidak hanya berasal dari militer saja bahkan juga berasal dari warga sipil. Terakhir, peristiwa yang cukup membuat dunia marah dan mengecam tindakan itu ialah penembakan yang dilakukan oleh Militer Israel terhadap Razan Ashraf al-Najjar seorang paramedis Palestina yang hendak menjalankan tugasnya untuk menolong korban luka di medan perang. Kematian Najjar yang merupakan seorang paramedis di medan perang akibat tembakan dari tentara Israel secara jelas telah melanggar Konvensi Jenewa tahun 1949. Sebab, salah satu poin penting dalam konvensi tersebut adalah bahwa paramedis mendapat perlindungan ketika berusaha menyelamatkan mereka yang terluka dalam konflik. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah perlindungan bagi para pihak yang menjadi korban dalam konflik bersenjata menurut konvensi-konvensi internasional dan bagaimana mekanisme penegakan hukum humaniter internasional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif (<em>normative legal</em> <em>research</em>). Jika pada akhirnya penembakan yang dilakukan oleh militer Israel terhadap Najjar benar-benar terbukti sebagai kejahatan perang menurut Mahkamah Pidana Internasional, maka hukuman yang akan dijatuhkan sangatlah berat. Sebab, sampai saat ini, hanya ada dua jenis hukuman untuk penjahat perang yaitu hukuman seumur hidup atau hukuman mati.</p> <p><strong> </strong></p> <p><strong>Kata Kunci:</strong></p> <p>Perlindungan Hukum, Hukum Humaniter Internasional</p>2023-12-19T00:00:00+07:00Copyright (c) 2023 As-Shahifah : Journal of Constitutional Law and Governancehttps://ejournal.iainmadura.ac.id/index.php/asshahifah/article/view/11584Studi Komparasi Hubungan Lembaga Eksekutif dengan Lembaga Legislatif antara Negara Indonesia dengan Negara Amerika Serikat2024-01-08T12:16:53+07:00Siti Partiahsitipartiah@iainmadura.ac.idJihan Amalia syahidahJasyahidah@iainmadura.ac.id<p>Indonesia dan Amerika Serikat merupakan contoh negara yang menjalankan pemerintahannya dengan sistem presidensial. Kedua negara juga sama-sama memisahkan pembagian kekuasaan pemerintahan yakni trias politica agar tidak tumpang tindih kewenangannya. Namun ada perbedaan sisinya, karena Amerika menggunakan sistem Strong bicameral (sama kuatnya), sedangkan Indonesia menggunakan sistem soft bicameral (ada satu yang dominan). Hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif sangat erat, salah satunya adalah lembaga legislatif yang mana antara DPR dan Presiden harus sepakat untuk mengesahkan undang-undang tersebut.</p>2023-12-19T00:00:00+07:00Copyright (c) 2023 As-Shahifah : Journal of Constitutional Law and Governancehttps://ejournal.iainmadura.ac.id/index.php/asshahifah/article/view/11459Hakikat Politik Dinasti Dari Perspektif Filsafat Sangkan Paraning Dumadi Dalam Bingkai Pancasila2023-12-19T12:53:07+07:00Ferry C. Namgyalferry1972@ugm.ac.id<p>Sekalipun pemilihan umum baru akan berlangsung pada tahun 2024, dinamika politik di Indonesia telah mulai memanas sejak pertengahan tahun 2022. Puncaknya di tahun 2023, pada saat Gibran Rakabuming Raka mendapatkan ‘tiket’ dicalonkan sebagai wakil presiden melalui rangkaian prahara Mahkamah Konstitusi, yang diyakini oleh banyak orang sebagai proses politik dinasti. Makalah ini meninjau hakikat politik dinasti dengan menggunakan pendekatan filsafat masyarakat orang Jawa, yaitu ‘<em>sangkan paraning dumadi</em>’, yang salah satu maknanya adalah mengingatkan manusia tentang dari mana ia berasal dan ke mana dia akan kembali. Filsafat <em>sangkan paraning dumadi</em> hidup dalam nilai-nilai Pancasila yang merupakan hasil kristalisasi konsep, nilai, etika dan moral yang digali dari bangsa Indonesia yang majemuk. Hakikat politik dinasti itu adalah upaya melanggengkan politik kekuasaan, dengan menggunakan upaya neopatrimonialistik, dalam tangan sekelompok orang, yang merasa paling benar, paling adil, dan bahkan telah lupa akan makna hidup dan tujuannya. Politik dinasti jelas bertentangan dengan filsafat <em>sangkan paraning dumadi</em> yang hidup dalam nilai-nilai Pancasila, karena mengingkari Tuhan sebagai sumber, pusat alam semesta dan kehidupan, serta akhir dari segalanya. Politik dinasti dalam praktiknya tidak luput dari tindakan yang menghalalkan segala cara dalam upaya mencapai kedudukan dan kesenangan, sehingga tidak menghiraukan nilai-nilai Ketuhanan. Tidak salah jika dalam persepsi sebagian besar masyarakat, praktik politik dinasti adalah salah satu penyebab utama maraknya korupsi, karena lebih mementingkan politik daripada kepentingan rakyat.</p>2023-12-19T00:00:00+07:00Copyright (c) 2023 As-Shahifah : Journal of Constitutional Law and Governancehttps://ejournal.iainmadura.ac.id/index.php/asshahifah/article/view/11094Arah Politik Hukum dalam Pembangunan Sistem Hukum Nasional Menurut Undang-Undang RPJPN 2005-20252024-01-08T12:29:25+07:00aini shalihahainishalihah18@gmail.comAbd Muniabdmuni@iainmadura.ac.id<p> Every country has a political law that acts as a basic policy for state administrators to determine the direction and content of the law to be formed. State administrators in carrying out their duties and responsibilities certainly have a legal political system like Indonesia which adheres to a democratic system. This is what then needs to be studied more deeply regarding the direction of Indonesian legal politics and this will not be separated from the historical context of how the direction of national legal policy is. Not only that, this paper will also examine how the implementation of the legal political direction is made in making a policy. The method used in this paper is normative and empirical juridical. The results of the research show that the direction of legal politics in the development of the Indonesian legal system is contained in the 2005-2025 RPJPN Law. Meanwhile, in practice, there are still several legal products issued that are not in line with the 2005-2025 RPJPN Law, such as the revision of the KPK Law (UU No. 9 of 2019), the Minerba Law and also the Job Creation Law. From some of these legal products, it can be said that the direction of legal politics in terms of implementation is still not optimal. Because the policies carried out by the government have not been able to achieve the expected democracy.</p>2023-12-19T00:00:00+07:00Copyright (c) 2023 As-Shahifah : Journal of Constitutional Law and Governancehttps://ejournal.iainmadura.ac.id/index.php/asshahifah/article/view/11748Studi Kasus Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilu yang Mempengaruhi Prinsip-Prinsip Hukum Pemilu2023-12-19T12:25:08+07:00Try Subaktitrysubakti@iainmadura.ac.idAndi LowAlow17673@gmail.comMohammed Veckymohammedvecky@gmail.comImam Samudraimamsamudra@gmail.com<p>Tatkala Pemilukada dinyatakan menjadi bagian dari rezim hukum pemilu sesuai Pasal 236C UU No.12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, maka kemenangan untuk mengadili masalah pemilukada dialihkan menjadi domain Mahkamah Konstitusi yang ditangani sebelumnya oleh Mahkamah Agung. Dalam perkembangannya, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam masalah pemilukada tidak hanya dimaknakan secara tekstual yaitu sekedar mengakhiri percakapan yang akan terja diperhitungan suara Pemilukada, namun pula mempertimbangkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Inilah kewajiban konstitusional Mahkamah Konstitusi yang pada dasarnya bertujuan agar pemilukada berlangsung amanah dan adil. Dalam praktek, relatif banyak masalah yang muncul pada pelaksanaan pemilukada baik dari sisi regulasi, penyelenggaran, dan penguatan hukumnya. Selain itu dari sisi Mahkamah Konstitusi, banyak tantangan dan kendala yang dihadapi dalam penanganan masalah pemilukada. Namun demikian, syarat tersebut tak mengoyahkan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan variasi hukum pada rangka membenahi serta memperbaiki sistem pemilukada. Langkah Mahkamah Konstitusi justru sebagai suatu keniscayaan dan semakin mengungkapkan karakternya undang-undang konstitusi untuk menegakan hukum serta keadilan sebagaimana diamanatkan oleh UUD1945.</p>2023-12-19T00:00:00+07:00Copyright (c) 2023 As-Shahifah : Journal of Constitutional Law and Governance