PEMIKIRAN IBN HAZM TENTANG KEBERADAAN WALI NIKAH DALAM PERKAWINAN JANDA
Abstract views: 322
,
PDF downloads: 473
Abstract
Wali nikah merupakan salah satu rukun dalam perkawinan.
Begitu pentingnya keberadaan wali nikah, kajian membahas
tentang keberadaan wali dalam suatu perkawinan yang
dilakukan oleh janda (tsayyib), dalam perspektif Ibn Hazm.
Kajian ini bersifat deskriptif analitis artinya hasil penelitian
ini berusaha memberikan gambaran secara menyeluruh,
mendalam tentang suatu keadaan atau gejala yang diteliti,
yaitu berusaha memaparkan data secara obyektif tentang
wali nikah bagi janda menurut pemikiran Ibn Hazm
kemudian menganalisanya. Penelitian ini merupakan
penelitian pustaka (library research) dengan menggunakan
pendekatan sejarah sosial dan pendekatan ushul fiqh. Dalam
menganalisis data penyusun menggunakan metode analisis
isi (content analysis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dalam hal wali nikah Ibn Hazm sependapat dengan jumhûr
ulamâ’, kecuali Abû Hanîfah, yang tidak membolehkan
perempuan mewalikan dirinya sendiri, tetapi harus
menyerahkannya kepada walinya, yakni dari keturunan
laki-laki (ashabah). Jika tidak diizinkan, maka yang
menikahkan adalah sulthân. Ibn Hazm tidak membedakan
antara gadis dan janda dalam hal kewajiban meminta izin
wali dalam suatu pernikahan, bahwa jika ingin menikah,
gadis atau janda harus dengan izin walinya.
Begitu pentingnya keberadaan wali nikah, kajian membahas
tentang keberadaan wali dalam suatu perkawinan yang
dilakukan oleh janda (tsayyib), dalam perspektif Ibn Hazm.
Kajian ini bersifat deskriptif analitis artinya hasil penelitian
ini berusaha memberikan gambaran secara menyeluruh,
mendalam tentang suatu keadaan atau gejala yang diteliti,
yaitu berusaha memaparkan data secara obyektif tentang
wali nikah bagi janda menurut pemikiran Ibn Hazm
kemudian menganalisanya. Penelitian ini merupakan
penelitian pustaka (library research) dengan menggunakan
pendekatan sejarah sosial dan pendekatan ushul fiqh. Dalam
menganalisis data penyusun menggunakan metode analisis
isi (content analysis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dalam hal wali nikah Ibn Hazm sependapat dengan jumhûr
ulamâ’, kecuali Abû Hanîfah, yang tidak membolehkan
perempuan mewalikan dirinya sendiri, tetapi harus
menyerahkannya kepada walinya, yakni dari keturunan
laki-laki (ashabah). Jika tidak diizinkan, maka yang
menikahkan adalah sulthân. Ibn Hazm tidak membedakan
antara gadis dan janda dalam hal kewajiban meminta izin
wali dalam suatu pernikahan, bahwa jika ingin menikah,
gadis atau janda harus dengan izin walinya.
Downloads
Download data is not yet available.
Published
2014-10-14
Issue
Section
Articles
In order to be accepted and published by Al-Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial, author(s) submitting the article manuscript should complete all the review stages. By submitting the manuscript, the author(s) agreed to the following terms:
- The copyright of received articles shall be assigned to Al-Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial as the publisher of the journal. The intended copyright includes the right to publish articles in various forms (including reprints). Al-Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial maintain the publishing rights to the published articles.
- Authors are permitted to disseminate published articles by sharing the link/DOI of the article at Al-Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial. Authors are allowed to use their articles for any legal purposes deemed necessary without written permission from Al-Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial with an acknowledgment of initial publication to this journal.
- Users/public use of this website will be licensed to CC-BY-SA.